Bocah balita itu menyuapkan makanan melalui mulutnya ke Ibunya.
Sungguh mengharukan, seorang bocah berusia 2 tahun menyuapkan makanan ke ibunya yang sedang sakit kerusakan otak. Ibunya yang tergolek sekian tahun sejak dia belum dilahirkan. Lebih menyentuh nurani, kala bocah itu menyuapkan makanan kepada ibunya dengan cara mengunyah makanan terlebih dahulu, kemudian menyuapinya dari mulut ke mulut.
Hal itu dilakukan karena sang Ibu belum pulih kesehatannya sejak mengidap penyakit Vegetatif (kerusakan otak) yang sempat menghilangkan kesadarannya. Penyakit itu menyebabkan ketidakmampuan Ibunya untuk mengunyah makanan sendiri. Satu yang terpikirkan di benak saya, kasih tulus dan jalinan hati yang kuat memungkinkan anak seusia itu mampu mengerti dan melakukannya. Kasih sayang yang bukan hanya bisa dirasa dalam hatinya dengan tulus dan bukan hanya dipikiran ataupun sekedar dilisankan. Sudahkah kita memiliki rasa seperti itu kepada Ibu kita?
Sekilas kisah fakta yang terbaca dari sebuah artikel ini menyentuh hati dan langsung mengingatkan saya pada sosok Ibu di kampung (mendadak melow hehee). Kisah seorang Ibu bernama Zhang Rongxiang (42) dan suaminya Gao Dejin bersama putranya di Tiongkok. Anak balita berusia dua tahun itu berhasil membangunkan kesadaran Ibunya dari ‘tidurnya’ akibat menderita kerusakan otak. Suara panggilan bocah itu setiap harinya, didengar oleh Ibunya yang akhirnya sang Ibu mampu bangkit kesadarannya. Mengharukan lagi, saat melihat ibunya sulit mengunyah makanan, bocah itu membantu mengunyahkannya lalu dimasukkan ke dalam mulut ibunya. Sangat mengharukan. (Kisah selengkapnya baca disini)
Seakan seperti terkena ‘hardikan tongkat’ membaca artikel itu. Terbayang di pelupuk mata teringat Ibu selama ini. Tentunya di saat Ibu dan Bapak melalui usia senjanya sangat membutuhkan perhatian dari anak-anaknya. Terlebih yang berpisah jarak karena merantau. Tak sedikit kasus, orangtua tersia-siakan oleh anaknya. Banyak kali kita melihat di sekitar kita sedemikian banyak kaum Ibu mengais rejeki di jalanan. Keriput dan legam kulitnya terpanggang panas dan ganasnya kota. Prihatin rasanya.
Zhang Rongxiang (42) tersenyum dengan puteranya.
Jika bocah berusia 2 tahun itu mengerti dan menyadari serta memiliki ketulusan hati terikat jalinan batin dengan orang tuanya, menyuapi sedemikian rupa, maka sangat tak layak bagi kita yang telah dewasa dan sehat jasmani rohani mengabaikan orang tua. Perhatian dan kepedulian sangat dibutuhkan mereka. Kasih dan sayang harus diekspresikan dalam perilaku kita. Beberapa hal berikut ini, yang terbayang di benak saya, bentuk ekspresi yang bisa kita lakukan terhadap orangtua kita.
Komunikasi yang Baik
Dimanapun kita berada berikan waktu untuk mengingat orangtua. Bagi yang merantau, bisa melalui telepon, sms. 5 menit saat antri di Bank pun merupakan waktu berharga untuk sekedar bercanda dengan orangtua nun jauh disana. Yakinlah suara kita adalah obat mujarab bagi tubuh renta mereka.
Jika telpon dirasa mahal karena di luar negeri, tentunya media surat menyurat bisa dimanfaatkan kembali. Terbayang ekspresi Ibu, Bapak kita saat membaca surat/ dibacakan, terharu dan mungkin meneteskan airmata bahagia, mengetahui kondisi anaknya baik-baik saja di perantauan. Melalui email dan semacamnya mungkin bisa dilakukan, dengan catatan ada orang yang bisa membantu orangtua kita mengaksesnya.
Bagi yang masih tinggal dengan orangtua, serumah, lebih mudah berkomunikasi tiap hari. Ajang makan malam bisa menjadi ajang membangun keharmonisan komunikasi. Bercengkerama tiap hari libur dengan berwisata juga lebih baik.
Perhatikan Kebutuhan
Materi tentu paling mudah sebagai ekspresi perhatian. Materi dalam bentuk apapun bisa membangkitkan semangat orangtua. Merasa diperhatiakn adalah hal utama bagi mereka. Menjaga hati agar tak merasa diabaikan. Bahkan sekedar membelikan baju, kado, perabotan dan lain-lain di momen-monem tertentu cukup menggambarkan perhatian kita. Sekecil apapun pemberian tulus kita, orang tua pasti akan menghargainya. Namun tentunya sesuai dengan karakter orangtua masing-masing. Kita sebagai anaknya tentu lebih mengetahuinya.
Libatkan dalam Pergaulan
Tak ada salahnya, teman-teman kita perkenalkan dengan orangtua. Tak usah malu, apalagi menutup akses. Biarkan orangtua kita menjadi ‘penerima tamu’ teman-teman kita. Mengobrol, berbagi cerita dengan teman-teman kita, kemungkinan akan menjadi hal yang menyenangkan buat mereka. Kecenderungan orangtua, suka bercerita segala hal, mereka membutuhkan pendengar yang baik dari semua orang. Tentu saja harus diperhatikan tatakrama dan sopan santun agar orangtua kita tidak tersinggung saat obrolan tidak menyenangkan bagi mereka.
Doakan
Ketulusan batin akan kasih sayang yang tulus tercermin saat kita selalu mendoakan hal-hal baik bagi orang tua. Doa bagi kesehatan, kehidupan lebih baik, adalah kekuatan maha besar untuk selalu menjaga jalinan kasih dengan orangtua.
Cara-cara sederhana diatas hanya sekelumit saja, berdasarkan pengalaman. Tentu ada banyak hal lainnya yang bisa kita lakukan. Paling tidak, jangan sampai melupakan orangtua kita, di belahan dunia manapun kita berada. Jadi angkat telpon sekarang juga, lalu katakan,”Sudahkah Ibu makan siang?”
Atau bagi perantau ambil kertas dan pena, tulis curahan perasaan anda kepada Ibu Bapak anda. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari, jika mereka telah tiada. Mungkin saatnya mengubah kata pepatah “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan,” menjadi “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang jalan jugalah.”
Salam siang. Selamat makan siang Ibu, bapak dan kawan-kawan.
Link Kompasiana: http://sosbud.kompasiana.com/2013/09/24/sudahkah-kita-mengasihi-ibu-sepenuh-hati-595451.html
Referensi:
Sumber foto: http://erabaru.net/top-news/40-news5/33677-anak-usia-dua-tahun-membangunkan-ibunya-yang-vegetatif-dan-menyuapkan-makanan
Belum ada tanggapan untuk "Sudahkah Kita Mengasihi Ibu Sepenuh Hati?"
Posting Komentar