Teruntuk Ibu yang kuhormati dan kukasihi.
Hari merambah senja saat kuselesaikan surat ini Ibu. Surat yang sudah mulai kutulis sejak semalam, saat jarum jam telah menandakan waktu tengah malam. Terlampau banyak kebahagiaan yang bisa saya tuliskan saat mengingatmu Ibu. Surat ini hanya sepenggal kebahagiaan bersamamu di masa dulu. Mengingatkan akan waktu berharga yang telah kulalui. Mengingatkan akan hangat kasih suci yang tak mungkin terganti. Bahkan sekalipun oleh sang matahari.
Jendela sengaja kubuka, angin sepoinya mengusap dingin diantara temaram sore yang akan berganti senja. Hening dan sunyi mengingatkan memori ini pada sosokmu, Ibu. Hati ini rindu sangat pada Ibu. Rindu usapan tangan keriput kasihmu yang meneduhkan seperti dulu. Rindu pitutur yang menyejukkan di waktu-waktu malam masa yang berlalu. Penggalan merindu yang selalu mengusik di tanah rantauan.
Mohon maaf sebelumnya jika aku belum sempat menengok Ibu juga Bapak. Tak cukup sabar rasanya menunggu setiap hari lebaran untuk dapat sungkem dan melepas kerinduan pada Ibu. Sekali lagi maafkan, karena kondisi belum memungkinkan. Mohon pengertian restu dan doa selalu.
Kabar diriku, dengan segala restu ikhlas Ibu, aku dalam kondisi sehat lahir batin. Aku berharap keadaan Ibu dan Bapak sedemikian pula adanya. Sehat dan selalu berbahagia dalam kondisi apapun.
Ibu, aku selalu meluangkan waktu untuk Ibu, meski dalam angan. Semua aktivitasku, sosok Ibu selalu kuhadirkan. Saat sarapan, jam senggang di kantor, nonton televisi, jalan-jalan, belanja ke supermarket, pasar dan masih banyak lagi. Buatku apa yang kulakukan itu, selalu terasa Ibu ada disini, disampingku, di hatiku. Kasih Ibu penuntun bak cahaya yang mengurai kegelapan. Ibu yang menyejukkan dengan tutur kata yang kuhapal bermaksud baik. Saat ibu marah, menangis, adalah satu momen berharga yang aku tahu, semua itu sinyal bagiku untuk merasakan hal yang sama. Ibu mengajari dan menggembleng hatiku untuk berkomunikasi dengan Ibu dan lingkungan sekitar. Membimbing hati peduli pada sesama. Menumbuhkan rasa tolong menolong, membantu yang susah. Aku sangat paham yang Ibu nasehatkan waktu itu.
Ibu, masih ingatkah menu sarapan pagi yang Ibu siapkan untuk ‘anak lanangmu’ ini bersama kakak dan adik?
Jika bukan nasi goreng, pasti ada nasi putih dengan lauk telur dadar plus bihun. Jika tidak, menu ‘oseng-oseng lombok ijo’ dicampur irisan tempe kecil-kecil. Menu sederhana dan sangat kusuka sampai sekarang. Sarapan ‘oseng-oseng lombok ijo’ bikinan ibu rasanya tiada duanya. Sedikit pedas. Ibu bilang, “Biar segar, waktu sekolah gak ngantuk di kelas. Tapi jangan banyak-banyak makan pedasnya, biar ga mulas.”
Ibu benar, aku selalu semangat tiap pagi saat belajar di sekolah. Rasa pedasnya terasa hingga jam istirahat. Terima kasih Ibu, telah berikan kiat mujarab mengalahkan obat kantuk merek apapun. Aku selalu senyum-senyum sendiri kala mengingat itu. Di sini mencari menu itu susah Bu. Kalaupun ada, rasanya tak se-maknyus olahan masakan tangan dingin punya Ibu.
Oiyaa, aku punya cerita, kemarin ada tetangga sebelah minta diantar ke pasar pagi-pagi. Seperti petuah Ibu, yang bilang kita harus membantu orang lain, maka aku antar dia. Teman perempuan itu minta diantar ke pasar, mau belanja buat acara syukuran di rumahnya. Dia bilang, kalau sendirian susah bawa barang belanjaan saat naik motornya itu. Yaa, akhirnya kuantar.
Ibu, aku langsung teringat setiap masa liburan kuliah, jika tak ada acara pecinta alam dengan teman-teman ‘Panta Rhei’ di kampus, aku pasti pulang ke rumah. Lalu Ibu paling demen bangunin pagi-pagi minta diantar ke pasar, kulakan untuk kebutuhan warung kelontong di rumah. Warung untuk sampingan membantu ekonomi keluarga, termasuk biaya sekolah kami berlima. Dua kakak perempuanku, dua adik perempuan, dan aku anak lelaki satu satunya. Aku tak bisa menolak permintaan Ibu, kalau tidak, bisa kena semprot sepanjang hari. Ibu paling tahu, cara ‘maksa-maksa’, padahal tak dipaksa pun, aku mau antar Ibu. Cuman agak keqi saja dengan Endah, adik bungsuku itu yang selalu ngledekin itu.
“Ceileee, gondrong-gondrong mainnya ke pasar. Preman pasar kaleee.” Nah, begitu dia bilang. Aku keqi, tapi Ibu malah senyum-senyum saja. Lalu saat pulang dari pasar, sepeda motor penuh dengan bawaan sayuran plus kelapa! Ujung-ujungnya aku kena ledek lagi, “Ceileee, gondrong-gondrong bawaannya kelapa, Beruk kaleee.” Hadeeehh, masak disamakan Beruk, si bangsa kera pemetik buah kelapa itu Buu.
Ya, waktu itu lagi tren kuliah pada gondrong-gondrong. Ibu paling tak suka lihat anak lelaki berambut gondrong. Pasalnya tiap membonceng sepeda motor, wajah Ibu kena ‘tamparan’ rambut itu. Aku hanya senyum-senyum saja. Aku tahu Ibu tak memaksaku potong rambut, soalnya jarang protes. Namun sebenarnya Ibu melatihku untuk bisa bertanggungjawab dalam setiap keputusan, termasuk keputusan memanjangkan rambut, dan mendapat kesan kurang baik di mata tetangga. Ibu tahu ‘darah mudaku’ mengikuti tren. Bahkan Ibu membelaku jika ada yang cerewet soal rambut gondrongku. Ibu bilang,”Yang penting dia punya hati yang baik, paling juga nanti bosan sendiri (gondrongnya).”
Ibu benar lagi, hingga waktunya aku pun potong rambut kesayangan yang menjadi modal saat headbanging menonton festival musik metal yang marak waktu itu. Headbanging yang Ibu sebut kayak orang kesurupan itu, seperti saat Ibu lihat aku ‘beraksi’ di kamar. Yaaa, akhirnya rambut itu kupotong. Ibu hanya senyum-senyum, saat kerokin punggungku karena masuk angin, sejam setelah potong rambut. Aku merasa sudah membahagiakanmu Ibu, waktu itu. Ibu senang.
Terkadang terasa mudah untuk membahagiakan Ibu dengan cara-cara sederhana. Namun terlalu sering aku tidak menyadari untuk melakukannya untukmu. Hal paling sederhana sekalipun. Apa yang tertanam di kepala selalu dan selalu menuntutmu untuk melakukan segala kewajibanmu sebagai Ibu. Sementara aku mengabaikan kewajiban berbakti sebagai anakmu. Maafkan aku Ibu, aku terlambat menyadarinya.
Seperti ketika kuperkenalkan seorang gadis cantik padamu. Masih ingat khan Bu? Gadis yang belum Ibu kenal. Aku mencintainya, tapi Ibu tidak. Lama waktu aku kebingungan memilih, karena aku memang tidak mau memilih. Aku hanya memilih satu yakni Cinta. “Yaa cinta Ibu dan cinta dia.”
Meski akhirnya aku memilih cinta Ibu, karena aku tak sampai hati mengabaikan perasaan Ibu. Sedih rasanya, namun tak akan lebih pedih melihat Ibu yang merasa terabaikan hatimu olehku. Aku yakin, Ibu pasti mempunyai alasan kuat meski tak diungkapkan, dan alasan itu pasti untuk kebahagian anakmu. Anak yang Ibu harapkan ‘mikul dhuwur mendem jero.’
Ibu maafkan aku jika kemudian diriku labil oleh keadaan. Hati yang rapuh membuatku tak mampu memulihkan kesedihan dalam waktu singkat. Terlampau berat untuk mengikhlaskan sesuatu idaman saat usia muda, saat masih awal kuliah di Kota Gudeg Jogjakarta itu. Kuliahku terbengkalai. Bergumul dengan kartu-kartu judi tak kenal waktu. Berkutat dengan barang-barang haram yang membius kesadaranku. Jatah uang bayaran kuliah, barang-barang kesayangan satu persatu melayang. Segala nasehat dan petuah terlupakan. Aku tahu itu menyakitkan Ibu. Sungguh tindakan bodoh yang kusesali di kemudian hari.
Ibu tak jemu menasehati. Memedulikanku meski membuatnya gelisah setiap malam menjelang tidur. Hingga raga rentamu terpuruk oleh serangan penyakit. Penyakit yang malam itu membuatmu ambruk di depan kamar mandi, saat aku pulang akhir pekan itu. Gumpalan darah di telapak tanganmu. Darah berceceran di mulut efek batuk berkepanjangan.
Aku panik. Membopongmu ke kamar. Bapak pun terbangun dan membantu membaringkanmu. Palu godam serasa mengetok kepalaku saat tubuh lemahmu terbaring. Mataku berkaca-kaca, teriang-iang suara di benak menghantamku,”Aku berdosa, aku menyakiti perasaan Ibu. Aku ingin Ibu sehat.”
Hebatnya Ibu berusaha tetap tersenyum saat melihatku, ‘anak lanang’ di sisimu. Aku hanya bisa memijat bahu dan lenganmu, kala dirimu menolak dibawa periksa ke dokter. Ibu hanya bilang, “Aku hanya capek, Lee.”
Syukurlah Ibu pulih beberapa hari kemudian, setelah kami memaksanya membawa berobat ke dokter. Aku ingat Ibu bilang, “Berpikir dan berperilkau baik adalah obat paling manjur untuk kesehatan, Lee.”
Kepulihan Ibu, memberikan semangat ‘kepulihan’ baru pada diriku. Aku menyadari, Ibu membimbing dengan ketulusan atas kebaikan. Seberapapun duka yang Ibu tanggung, tak menyurutkanmu untuk memberikan kebahagiaan pada anakmu. Aku berjanji sejak itu untuk memedulikanmu, memerhatikanmu, menjalankan petuahmu, berusaha berperilaku kebaikan setiap waktu. Ibu tahu, mesti itu tak pernah terucapkan di bibirku. Hingga aku kembali tekun menyelesaikan pendidikan, dan setiap akhir pekan aku pulang yang hanya menempuh waktu dua jam perjalanan.
Ingatkah Ibu? Setelah itu aku sering menemanimu menonton televisi? Aku mengatur waktu antara di rumah dan kegiatan-kegiatan lainnya bila liburan. Sesekali jalan-jalan bersama saudara lainnya. Kita berbincang segala hal. Ibu memijat lengan tanganku sambil bertanya soal kuliahku, pergaulanku dan teman-temanku. Aku membantumu memasak sarapan menu bihun dan telur dadar juga ‘oseng-oseng lombok ijo’ bersama adik-adikku. Aku suka sekali mengerjakannya. Ibu aku rindu semua itu. aku kangen masa-masa itu, yang saat ini tak bisa kulakukan lagi. Saat kehidupan dewasa telah dijalani, jarak memisahkan hingga pertemuan pun berbatas waktu. Aku berjanji menelpon Ibu setiap malam. Maafkan jika mungkin belum terlaksana terganggu oleh banyak kesibukan.
Ibu, masih banyak yang ingin kuungkapkan sebagai pelipur lara rindu. Lain waktu kusambung lagi suratnya. Di hari Ibu ini aku selalu berharap untuk kebahagiaanmu setiap waktu, tak berkurang oleh keadaan yang datang berubah silih berganti. Saya tahu, ibu tak menghiraukan perayaan hari Ibu, ataupun diingat-ingat akan jasamu, karena bagimu ketulusan itu tak memikirkan pamrih. Kebahagiaanku, kebahagiaan keluarga sudah cukup untuk menorehkan gurat ceria di wajah dan hatimu.
Ibu bersahaja
setegar tegarnya insan manusia
perkasa atas lengan kukuh berlandas kasih cinta
sejuk kalbu sedamai tulus airmata bahagia
atas segala kesedihan dalam duka hidup yang menerpa
pada kepedihan di kala upaya menggapai cita-cita
restumu adalah pelecut harapan asa
yang mengalun dalam irama alunan bait tulus doa
yang melaju dalam langkah-langkah yakin kaki-kaki tua
yang terramu dalam syair syair bahagia
dari sebuah hati seterang intan permata
penyandang surga di telapak kakinya
atas titah Sang Maha Pencipta
Sekian dulu suratku Ibu. Salam buat Bapak. Semoga segala kebaikan senantiasa bersama kita semua. Aamiin.
Sungkem dari ‘anak lanang’mu
*****
#Salam Hari Ibu, Salam Hari Perempuan Indonesia.
Semoga segala kebaikan besertamu. (Foto pribadi)
Catatan:
anak lanang = anak lelaki
oseng-oseng lombok ijo = masakan berbahan cabay hijau.
mikul dhuwur mendem jero = mengangkat derajat martabat keluarga
Lee (Thole) = nama panggilan kepada anak lelaki/ bocah di adat Jawa.
Sungkem = hormat
Belum ada tanggapan untuk "Bahagia dalam Ruang Rindu Ibu"
Posting Komentar