Banjir akibat luapan Kali Angke Pesing, setahun lalu, medio Januari 2013. (Foto: Ganendra)
BANJIR yang melanda Ibukota pertengahan Januari 2014 belakangan ini mulai surut. Tercatat hingga Minggu (26/1/2014) beberapa titik bekas genangan air mulai menurun ketinggiannya. Tempat yang lain sudah ada yang normal. Jalur jalan bisa diakses kembali. Warga sudah kembali aktif seperti biasa. Bergelut dengan kehidupan sehari-harinya. Namun tak serta merta musibah itu hilang begitu saja. Bekas dan jejaknya akan mengingatkan bergores-gores luka, derita yang akan selalu diingat oleh mereka yang didera dan menjadi korban.
Banjir akibat luapan Kali Anke Pesing medio Januari 2014. (Foto: Ganendra)
Bayangan kala meninggalkan rumah untuk mengungsi. Menatap pedih rumah yang terendam hingga hanya terlihat atap. Merasakan telapak kaki terendam dan menapak lantai basah, dingin, keruh serta potensial mengandung bibit penyakit. Genangan mulai dari mata kaki, selutut, sepinggang, sedada hingga tenggelamnya kepala. Istilah ukuran unik ketinggian banjir yang muncul kala genangan melanda. Halangan aktivitas kerja sehari-hari, kecemasan penyakit paska banjir yang menghantui dan beragam derita luka tak kasat mata yang harus ‘diobati’ sejak dini.
Seorang Ibu di tengah-tengah jalan yang tergenang air. Foto diabadikan setahun lalu, medio 2013 di Jl. Tubagus Angke, Jakaarta Barat. (Foto: Ganendra)
Dua orang bocah menikmati banjir di Jl. Tubagus Angke Jakarta Barat. Foto diabadikan Januari 2014. (Foto: Ganendra)
Tak bisa dipungkiri fakta bahwa air selalu menjadi langganan bah banjir setiap tahunnya di Ibukota, Jakarta. Fakta memprihatinkan dari sebuah kota metropolitan yang modern pengembangan kotanya. Ironi. Namun segenap warga nampaknya mengamini bahwa ‘malaikat air’ yang menyambangi rumah-rumah, jalan dan pemukiman itu adalah sebuah kesalahan, keteledoran manusia yang harus dibayarkan oleh rintihan bocah dan ratapan ibu-ibu korban.
Wahyu yang diusung Malaikat Air mungkin sulit tertangkap, kala kepandiran manusia menyelimuti watak kesadarannya. Lupa akan makna dari datangnya air yang sedemikian rupa dipandang jahat. Mengaburkan kesadaran dengan menilai dan memaknai musibah secara tak bijak. Dimana kesadaran manusia sesungguhnya harmonis dengan sang alam, sebagai sebuah mekanisme prinsip semesta berkesinambungan sebab akibat. Berwujud pada perilaku menyimpang dari nurani yang dimiliki hingga merusak keharmonisan yang mestinya dibangun dengan alam seisinya. Membangun tali kasih dengan air dan pemilikNya.
Ulah dari perilaku manusia yang tidak mencintai jalan air dengan menumpuk sampah yang menyumbat laju sang air. (Foto: Ganendra)
Sungai yang merana dengan polusi sampah akibat perilaku manusia yang tidak menyayangi Sang Malaikat Air. (Foto: Ganendra)
Perilaku, prinsip, tekad semestinya dibenahi, agar menyambut Sang Malaikat Air dengan suka cita bukan derai tangis lagi. Membangun harapan dengan upaya baik sepenuh hati. Lebih baik dan lebih baik di tahun-tahun mendatang. Hingga tahun kuda kalender Chinese ini dapat membawa berkah bahagia. Berharap kereta kuda penuh dengan pundi-pundi rejeki kebaikan dan kegembiraan, untuk segenap warga kini dan generasi nanti.
Pantaslah kiranya pesan-pesan ‘Wahyu Malaikat Air’ yang datang nanti adalah kegembiraan sebagai unsur yang menghidupi dan patut disyukuri. Air adalah mengayomi yang tak layak lagi dicaci maki, namun haruslah disayangi untuk menjadi jalan damai bagi semua makhluk di bumi.
…
aku butuh kasih sayang
yang memoles ragaku sedap dipandang
yang bangkitkan kesejukan di terik kering kerontang
yang menghidupi segala kalangan malang
atas rasa panas dahaga menjelang
janganlah lupa
aku punya daya rusak maha raksasa
dari rumah kampung desa hingga pelosok kota
benamkan nyawa sisakan genangan derai airmata
pada luapan sungai hingga banjir melanda
jangan salahkan kerana
kamu sudah khianati tulus cinta
pada alam seisinya
Diperlukan kesadaran kita untuk memahami pesan-pesan atas musibah yang beruntun terjadi. Bersahabat dan harmonis dengan alam adalah salah satu langkah terbaik. (Foto: Ganendra)
Salam damai.
(Semua foto jepretan pribadi penulis)
Belum ada tanggapan untuk "Wahyu Malaikat Air"
Posting Komentar