“Mas, tapi Ibumu ga setuju. Ibu ga suka sama aku,” katamu sambil menundukkan kepala. Aku tahu aliran airmata merembes membasahi kedua pipi mulus itu. Jari jemarimu resah memainkan ujung baju itu. Aku terdiam, aku hanya mendesah panjang. Pikiranku berkecamuk. Mencoba merasakan kondisi dan keadaan. Mencari solusi ataukah pembelaan diri?
Ibu memang tak menyukai pacarku ini. Alasannya tak disampaikan. Aku hanya bisa menerka-nerka, alasan apa yang membuat Sakti tak diterima sebagai pacar. Pacar belum calon istri. Sakti gadis yang kucintai. Gadis santun dan memahami tatakrama. Sakti juga seorang mahasiswi. Sakti bukan juga dari keluarga yang tak mampu, meski bukan kaya raya. “Ibu tak bisa memberimu restu dunia akherat Lee,” suara Ibu teriang waktu itu, puluhan tahun lalu.
Sakti adalah cinta pertamaku, dari sekian rasa ‘cinta’ yang ada dan kumaknai. Cinta pertama yang benar-benar berkesan dan kurasakan sebagai sebuah cinta sesungguhnya. Sebelumnya beberapa teman perempuan yang dekat, dan menjalin hubungan terasa hanya sebatas demi pergaulan semata. Bukan sebuah jalinan hati yang meletupkan rasa cinta. Ya, semacam cinta monyet atau rasa ‘gengsi’ dan malu kalau tak punya pacar.
Hingga aku menemukan perasaan cinta pada sosok Sakti, saat sudah di bangku kuliah sebuah perguruan tinggi di Jogjakarta. Mencintai Sakti inilah yang kurasakan sebagai jatuh cinta pertama kali. Saat gelora rasa memiliki, mengasihi dan letupan rasa merindu mengusik hatiku. Apakah cinta yang terlambat?
*
Siang itu selepas Dhuhur, terasa tidak terlalu panas oleh mentari. Pasalnya mendung bergelayut sejak pagi hari belum mencurahkan airnya dari langit. Hari itu hari libur, meski bukan hari Minggu. Tanggal merah bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila. Saat itu aku ke rumah tetangga dekat yang hari itu merayakan ulang tahun salah seorang naggota keluarganya. Sekalian syukuran.
Sumbu lilin diatas kue tart ulang tahun itu, belum dinyalakan saat saya tiba di rumah tetangga itu. Lilin berbentuk angka 18. Namun suasana sudah ramai oleh para undangan yang hadir untuk merayakan ulang tahun. Rata-rata undangan anak-anak sekolah. Ulang tahun pada 1 Oktober bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.
Ya, Bulan Oktober awal aku mengenal seorang gadis cantik, bibi dari seorang tetanggaku. Gadis yang masih duduk di bangku SMA kelas 2 di sebuah SMA Negeri di kota kami. Tak heran orangtuanya menganugerahi nama depannya Sakti. Sosok perempuan yang bukan hanya cantik namun baik dan ramah pada siapapun. Rambut lurus sebahu, mata berbinar, ramping dan langsing, santun agak pendiam. Khususnya terhadap lawan jenis yang belum dikenalnya. Tak sedikit pria yang berusaha menarik hatinya.
Aku termasuk beruntung, dibanding sekian banyak teman pria lainnya. Beruntung karena jarak rumah dengan tetangga itu dekat. Dikarenakan sekolah tempat dia belajar cukup jauh, dia sering menginap di rumah keponakannya itu. Apalagi keponakannya yang masih duduk di SMP itu adalah anak tunggal dari kakaknya. Jadi Sakti itu menjadi teman sekaligus menjaga keponakannya itu disaat orangtuanya bekerja.
Awal perkenalan berlanjut pertemanan, kami lalui dengan biasa saja. Dia bersekolah, dan saya masih kuliah di Jogjakarta. Intensitas pertemuan sangat minim, karena berbeda kesibukan dan sekolah. Saya juga hanya sebulan sekali pulang ke rumah, mengambil waktu libur akhir pekan saja. Tak terasa waktu berlalu hingga Sakti menginjak bangku kuliah. Dia berhasil diterima di salah satu Fakultas Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kampus yang hanya sejam perjalanan dari kota kami.
Berawal dari masuknya Sakti kuliah itu, tanpa sengaja mengubah kondisi pada hubungan kami. Dari sebelumnya yang hanya pertemanan menjadi sebuah hubungan special. Ya, setelah resmi menjadi mahasiswi, Sakti sering bertanya soal dunia kampus. Mulai dari model pembelajaran yang berbeda dengan masa SMA, soal mata kuliah, soal OPSPEK dan lain sebagainya. Seringkali saya membantu tugas di matakuliahnya.
Jika ada ungkapan adat Jawa yang mengatakan “witing tresno jalaran soko kulina,” ungkapan itu sangat tepat buat kami. Cinta tumbuh karena sering ketemu. Itulah yang kami rasakan. Saya merasakan keceriaan saat bersamanya. Saya menangkap sinyal yang sama darinya.
*
“Tapi Mas… ,” Suaramu terpotong, tak mampu melanjutkan. Antara iya atau tidak, aku berterus terang ‘menembaknya’. Saat aku pegang jemari tanganmu di teras rumahmu. Hanya ada kami berdua di temaram malam lampu teras. Keraguanmu terlihat jelas di mata beningmu. Mimikmu tak bisa menyembunyikan segala rasa di malam Sabtu itu.
“Ya, Aku menyukaimu. Aku ingin kamu jadi pacarku,” Itu yang kubilang padanya.
Bibirmu bergetar, mungkin tak menduga kalau malam itu adalah malam yang kupersiapkan untuk mengungkapkan gelora hatiku padanya. Dia hampir tak bergerak. Ternyata untuk usia mahasiswipun tak mudah untuk menyembunyikan perasaannya. Bercampur aduk. Selanjutnya menunduk tanpa berkata lagi. Hanya Sakti yang tahu isi pikirannya sendiri.
Sementara saya berharap-harap cemas. Baru kali ini kurasakan perasaan yang tak karuan. Antara harapan, dan kecemasan akan sebuah penolakan. Semua berkolaborasi menjadi satu menghasilkan nada yang tak beraturan. Aku yang terbiasa dekat dengan komunitas perempuan di kampus dan di lingkungan, ternyata menyangkut soal ‘hati’ perasaan, bukanlah main-main. Aku hanya tahu bahwa aku serius. Serius mengungkapkan perasaan yang terdalam dari hati yang tulus. Aku benar-benar menyukainya. Aku mencintainya. Aku terpesona oleh sopan santun hatinya.
Malam makin beranjak, keheningan menyelimuti teras rumah bercat putih itu. satwa malam merajuk saling memadu kasih dalam dunianya. Bintang-bintang bercengkerama manis di halaman luas langit yang menghampar. Bulan sabit indah memberikan lenteranya pada hati kami yang saling merindukan. Rindu akan sebuah pernyataan. Rindu akan sebuah tautan hati yang pasti. Saling memiliki dan saling mengasihi dalam bingkai hubungan berpacaran.
“Ya, Mas, aku mau,” akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut Sakti yang masih bergetar.
“Mau? Mau apa?” Tanyaku menggodanya, bermaksud mencairkan suasana yang ‘mencekam’ laksanan film horor.
“Laaah, ngledek neh. Ya Mas aku mau jadi pacarmu,” Jawabnya malu-malu.
“Beneran neh,” kataku tanpa menunggu jawabannya lagi. Jemarinya terasa meremas jemariku yang sedari tadi menggenggamnya. Matanya mulai melihatku dengan senyum di bibirnya. Temaram lampu tak bisa menipu raut wajahnya yang bahagia. Ya, Sakti bahagia. Aku yakin sekali.
“Tapi gimana dengan Ibumu Mas. Dia kurang suka sama aku,” katanya kemudian.
Ibuku. Ibuku memang sebelumnya memperlihatkan perilaku tidak suka apabila Sakti datang ke rumah, minta diajari sesuatu berhubungan dengan mata kuliahnya. Saya pun sudah merasakannya, namun tidak pernah menyinggung atau mempertanyakan kepada Ibuku.
“Yaaa nanti pelan-pelan kita usahakan Ibu bisa menerima kita. Namanya juga orangtua, mungkin beliau tak mau, pacaran akan mengganggu belajar kita,” Jawabku lirih. Aku berharap Sakti memahaminya. Benar juga, Sakti hanya menganggukkan kepala. Semoga saja dia yakin apa yang sudah menjadi keputusannya.
“Yang penting kita punya rasa yang baik. Cinta untuk kita rawat agar menjadi kekuatan yang indah. Iya khan?” tanyaku.
“Ya Mas, aku mengerti,” Jawabnya lagi. Remasan tangannya semakin kuat. Sekuat bulan sabit malam itu yang tak putus sinarnya oleh panjangnya waktu malam. Ya, harapan yang sama, malam panjang yang indah, dengan ikrar hati dua anak manusia yang mencanangkan rasa pada sebuah kasih bersama. Berpacaran sebagai sebuah langkah dari proses untuk masa depan.
*
Puncak Giri Belah. Sebuah nama lokasi di sebuah bukit di pinggiran kota. Bukit yang berbaris panjang di sepanjang pegunungan. Bukit yang dibelah oleh pembangunan jalan penghubung kota dengan daerah kecamatan lainnya. Tempat yang asri dengan pohon rindang disana sini. Sejuk meski saat terik mentari siang terpancar. Mencapainyapun mudah, karena ada akses jalan menuju keatas. Tidak terlalu tinggi namun mampu memperoleh sudut pandangan, kota, perkampungan dan juga hutan lindung di sekitarnya. Banyak anak muda dan masyarakat yang refreshing di tempat ini. Mudah dijangkau tanpa tarif.
Pada sore yang beranjak senja kami menikmati dari Puncak Giri Belah. Saat yang menyenangkan mengingat kami tak mungkin bertemu di rumah. Backstreet. Itu akhirnya yang menjadi keputusan kami. Tetap menjalin hubungan kasih, berpacaran meski tidak mendapatkan dukungan, baik dari Ibuku maupun Kakaknya.
“Mas, kakakku bilang, minta aku mengakhiri pacaran kita ini,” katanya lirih dan sedih.
“Alasannya?”
“Katanya gaak enak sama Ibu Mas.”
“Ga enak gimana?”
“Mas khan tau, Kakakku berdagang di toko klontong di lingkungan rumah. Itu mata pencaharian sehari-hari.”
“Hmmmm, lalu?”
“Ahhhh Mas, jangan pura-pura deh,” kata Sakti sambil mencubit pahaku.
“Aduuuhhhh!! …. Lah kok paha sihh…niii jadi merah taauuu.”
“Abisnya, nyebelin.”
“Heheheheeee, oke sayang… kita bicarakan lagi. Soal kakakmu itu. Terus?”
“Ya Kakakku bilang berdagang dekat rumah menjadi saingan toko klontong Ibumu khan. Jadi dia gaa enak, kalau jadi saingan.”
“Yaaa saya tau. Kamu mau ikutan saran kakakmu?”
“Justru itu aku lagi bingung Mas.”
“Aku berpikir begini. Kenapa sih kita mikirin kepentingan mereka, kita yang punya perasaan. Kita yang punya hati. Tapi kok direcokin urusan ekonomi.”
“Iya Mas, Aku berpikir begitu. Masalahnya kita masih bergantung ekonomi pada mereka. Mereka yang membiayai kuliah khan.”
“Inilah yang aku gak suka. Feodal. Kayak cerita jaman jadul. Jangan-jangan nanti jadi kisah Siti Nurbaya.”
“Ahhh ndaklah Mas. Aku mencintai Mas.”
“Iya, aku juga mencintaimu. Hmmm lalu masih tahan khan kamu dengan kondisi ini? Kita pacaran dengan backstreet.”
“Iya Mas, aku pikir saat ini, hanya begini yang bisa kita lakukan.”
Aku tersenyum senang. Namun di hatiku tersimpan tanda tanya besar, bahwa bukan soal ‘persaingan bisnis’ toko klontong yang menjadi alasan mereka. Ada sebuah misteri masa lalu yang tidak kami ketahui dan tidak diungkapkan. Aku tak mau membuat pikiran Sakti bertambah sedih, makanya aku tak membahasnya. Aku ingin menikmati rasa cinta sewajarnya.
Begitulah cinta kami. Betul-betul kami nikmati sendiri. Tanpa orang lain yang bisa kami ajak berbagi. Bahkan termasuk sahabat-sahabat kami. Hanya satu dua orang saja yang mengetahui hubungan kami. Tapi kami berusaha saling mengerti. Hubungan yang sulit dan dua tahun terlalui.
*
“Prang!”
Suara gelas pecah karena jatuh. Aku yang barusan sampai rumah di hari itu, kaget. Bergegas kuhampiri arah suara dari ruang tamu, setelah menyandarkan motor Force One-ku di teras. Ternyata benar, ada pecahan gelas di lantai ubin. Ibu nampak bergetar tangannya. Aku bergegas meraihnya, sebelum dia jatuh. Tubuhnya panas.
“Bu, ada apa Buu, kenapa?”
Ibu diam tak menjawab. Dia hanya memegangi kepalanya. Matanya basah, mungkin habis menangis. Sementara Bapak tidak nampak. Hanya kami bertiga yang ada di rumah. Kedua kakakku sudah pindah rumah. Kedua adikku juga belajar di lain kota. Praktis kalau saya sedang di Jogjakarta untuk kuliah, maka tinggallah Bapak dan Ibu di rumah.
Terasa tangan Ibu memegangi bahuku. Ia minta dituntun menuju kamarnya. Aku bersegera merangkul pundah dan menuntun Ibu lalu kubaringkan di pembaringan. Matanya nampak redup dan basah. Tubuhnya kian terasa panas. Ada bercak darah di sekitar mulutnya. Aku membersihkan dengan saputangan, lalu bergegas mengambil air minum, air putih. Sesaat kemudian kusodorkan ke mulutnya. Aku menepis bayangan di benakku, mudah-mudahan bukan penyakit TBC yang pernah menderanya.
“Wonten punopo Bu?” (Ada apa Buu)
“Kepalaku sakit Lee. P u s i n g. Perutku mual,” Jawab Ibu terbata-bata. (Lee=panggilan untuk anak laki-laki)
“Kita ke dokter yaaa Bu.”
“Ga usah Leee. Gak apa-apa. Aku butuh istirahat aja. Kamu darimana Lee?”
“Hmmmm dari rumah kawan Buu,” Jawabku terpaksa berbohong. Aku baru saja pergi bersama Sakti ke tempat kawan kuliahnya. Sahabat akrabnya yang menjadi tempat kami berbagi curhat soal hubungan kami. “Maafkan Ibu aku berbohong padamu,” gumamku.
“Ooo… kamu ga bohong Lee? Kamu pergi sama Sakti khan?” Tanya ibu lirih.
Deeegg…. Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku merasa berdosa. Aku merasa sangat mengecewakan Ibu. Aku hanya bisa menunduk. Tak kuasa menatap sejuk mata kasihnya itu. aku beringsut duduk di tepian pembaringan.
“Maafkan aku Ibu,” kataku akhirnya.
“Lee, aku ga pernah minta apapun dari kamu selama ini. Saat ini aku punya satu permintaan. Jauhi dia. Dia anak baik, tapi Ibu tak bisa memberimu restu dunia akherat. Aku gak bisa kasih tau alasannya. Kamu mau Leee, penuhi permintaan Ibu?” kata Ibu dengan suara bergetar.
Aku menunduk. Permintaan yang sangat berat. Teramat berat. Mengorbankan kebahagiaan hatiku pada Sakti begitu saja. Namun melihat sosok Ibu yang sedemikian lama membesarkan dan menjagaku, aku tidak tega dia tersakiti. Aku rapuh di depannya. Aku menyayanginya. Aku menghormatinya setulus hatiku. Aku ingin berbakti padanya. Sebisaku.
“Njiih Buu. Ibu segera sehat yaa,” Begitu aku menjawabnya. Entah plong atau malah sesak di dada. Aku tak bisa membedakannya. Aku menangis dalam hati. Tak tahu untuk siapa tangisku, Ibu, Sakti atau hanya untuk diriku sendiri?
*
“Ya sayang, maafkan aku,” kataku. Suara datarku seperti tertelan angin lembut Puncak Giri Belah sore itu. Namun Sakti mendengarnya. Terdiam. Tidak ada airmata. Tapi ada gurat kesedihan mendalam di mata indahnya. Sepasang mata mempesona yang selalu kusukai dan kuingat sepanjang malam. Nampaknya dia telah siap dengan segala resiko hubungan backstreet selama ini. Aku peluk dia. Sepenuh hati.
Aku bersyukur dia sangat memahami alasan yang kuberikan. Ibu. Sementara alasan sebenarnya tetap menjadi misteri yang tak terungkap, hingga saat ini. Ada hikmah mendalam terasa, kami sepakat jika takdir berkehendak mempertemukan hati kami, kami pasti akan bersatu. (*)
Belum ada tanggapan untuk "100 Persen Bukan Cinta Monyet"
Posting Komentar