Panggung negeri makin menyesakkan dada yang sudah tak cukup lapang. Satu pejabat tingkat Menteri ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terindikasi korupsi. Menguak kembali kisah kelam ‘pengkhianatan’ amanah, diantara deretan penjahat yang diciduk sebelumnya. Para penjahat yang membuat kopiku berasa hambar dan pahit, sepahit brutawali meski putih gula sudah tiga sendok teh diaduk ditambahkan.
Berangan-angan akan sebuah kehidupan negeri yang disangga tiang-tiang kokoh manisnya amanah kepercayaan. Rasa manis yang melebihi kolaborasi gula dan kopi hingga tak berasa hambar dan pahit. Tak butuh bumbu penyedap rasa, tapi gula murni yang tak hambar rasa.
‘Gula’ yang diciptakan oleh mereka para saudara petani, buruh dan kaum kecil yang jujur bersahaja, yang bekerja dengan sepenuh hatinya, mengolah sawah dengan belaian lembut cinta pada ibu pertiwinya. Mengoperasikan mesin industri dengan tanggungjawab keamanannya, mencari uang halal rejeki dengan jalan jujur tanpa tipu sana sini apalagi merampas hak atas yang lainnya. Merekalah yang bermandi wangi keringat dan meminum sebanyak keringat yang diperasnya tanpa kurang atau lebih.
Mereka para polisi yang berpanas-panas di perempatan lampu merah tengah kota, yang meniupkan peluit untuk mengatur lalu lintas, bukan untuk lembaran rupiah dari aksi cara damai tilang. Mennggemukkan pundi-pundi rekening gendutnya. Mereka TNI yang handal pergunakan senjata dan keahlian untuk membentengi negeri, bukan jadi centeng café, diskotik ataupun lokasi prostitusi.
Mereka para penyangga hukum negara, hakim, jaksa dan penegak hukum lainnya, yang sadar memaknai jubah dan toga kehormatannya untuk menegakkan keadilan bagi seluruh warganegara, bukan menggunakan palunya untuk mengetok kepala para penyuap, penyogok upeti dari kasus-kasus yang ditanganinya. Mereka yang selalu memposisikan timbangan keadilan dengan bobot sama kanan kiri, tanpa pilih kasih siapa yang ada di timbangan keadilan itu.
Mereka para penghuni gedung dewan yang sepenuh hati mengemban amanah dan aspirasi rakyatnya, memperjuangkan kesejahteraan dan berpihak pada rakyat yang diwakilinya, bukan memperkaya diri dengan tender proyek, maupun mark up anggaran. Mereka yang bekerja keras bukan yang tidur saat rapat sidang ataupun jalan-jalan saat kunjungan kerja dengan dana Negara milik rakyatnya.
Mereka para pejabat negeri yang tulus sepenuh hati bekerja dengan visi dan misi sebagai abdi rakyat yang memperjuangkan kemakmuran terbesar bagi rakyat yang dipimpinnya, bukan mereka yang menelantarkan, mengabaikan, tamak, rakus, korup, menyelewengkan kuasa kewenangannya untuk kepentingan pribadi dan golongan. Mereka yang mengabaikan amanah meski telah disumpah, mereka yang korup merampas hak rakyat atas penyelenggaraan negara, mereka yang berkhianat saat diberi amanat.
Mereka segenap rakyat yang sabar dan tabah saat kedaulatan tertingginya diciderai, tahu bahwa dirinya kaya raya di tengah kehidupan yang paling menderita, kurang pangan papan dan sandang dalam kesehariannya tanpa menuntut apa-apa. Mereka para warganegara pemilik tanah air dan negri, ditengah tipuan muslihat para pejabat pelayan berpuluh tahun lamanya. Ditilep dana pajaknya dan mesti rela jadi bulan-bulanan janji-janji kesejahteraan yang hanya dikecap sebagian kecil warga penjilatnya. Mereka yang selalu berupaya jujur dan berpengharapan perubahan lebih baik, meski menyadari kebobrokan wakil yang dipilihnya bukan lagi menjadi rahasia, meski negeri meluncur terbang dan bergulir tanpa pilot, meski Menteri diciduk dan ditahan KPK, meski sendi-sendi negeri keropos digerogoti rayap-rayap pelaku korupsi tak berhati.
Kapan Gula manis itu ada? Gula manis yang menghapus rasa hambar dan pahit kopi. Kopi kehidupan sehari-hari, yang membawa senyum tenang para arwah pendiri negeri.
Salam secangkir kopi pahit anti korupsi.
Belum ada tanggapan untuk "Kapan Kopi Manis Ini Tak Berasa Hambar dan Pahit Lagi?"
Posting Komentar