Semalam sharing-sharing dengan sahabat soal pekerjaan. Pekerjaan yang melibatkan sekian orang dalam sebuah tim. Dari sharing-sharing itu, terbersit sebuah kisah yang dilontarkan sahabat itu soal meredam konflik. Konflik yang rentan timbul saat berinteraksi dengan rekan-rekan lainnya. Mungkin anda pernah membaca atau mendengar soal kisah itu. Kira-kira demikian.
Ada dua orang biksu sedang mencuci mangkok di bak samping sumur. Saat sedang mencuci itu, tiba-tiba mereka melihat seekor kalajengking muncul dari bawah bak. Mungkin saking paniknya kalajengking itu ingin kabur, dia tenggelam.
Biksu yang pertama bermaksud menolong kalajengking itu. Segera dia menciduk dengan mangkoknya. Nah dalam usahanya itu, si biksu disengat. Lalu dia kembali mencuci mangkoknya dan kalajengking itu terjatuh kembali. Biksu itu kembali menolongnya dan kembali dia disengat. Biksu yang lain heran dan bertanya padanya.
"Kawan, mengapa kamu terus menolong kalajengking itu sementara kamu tahu bahwa sifat alami dan nalurinya adalah menyengat?"
"Karena, menolong adalah sifat alami saya," jawab biksu itu bijak.
Menikmati dan menjalani hidup sehari-hari memang gampang-gampang susah. Beragam masalah silih berganti datangnya. Mutlak akan selalu ditemui. Terkadang terasa ringan dilewati, namun terkadang terasa berat hingga membuat berputus asa. Saat bermasalah dengan diri sendiri, kita seyogyanya masih memikirkan orang lain. Saat berinteraksi dengan orang lain, baik di lingkungan kantor, di masyarakat bahkan dalam keluarga kita, tak terhindari adanya ‘gesekan-gesekan’ dan ‘sengatan-sengatan kalajengking’ yang berpotensi menimbulkan konflik. Mungkin istilah Vicky Prasetyo yang lagi trend itu, ‘kontroversi hati’. Entah benar entah tidak, yang jelas, patut kita sadari, agar dapat menyikapi setiap masalah dengan baik dan benar, diantara kehidupan dunia yang ‘saling menyengat,’ penuh konflik.
Misalnya saja, saat bekerjasama dalam sebuah tim di bidang pekerjaan tertentu, maka diperlukan keserasian dan keselaran agar tim mempunyai kinerja yang baik. Saling membantu dan bertanggungjawab agar berkembang dan menjadi tim yang solid. Setiap individu di dalamnya haruslah menjadi penopang yang sama kuatnya. Salah satu lemah maka akan mengganggu bahkan merusak tim secara keseluruhan. Fatalnya bisa menghancurkan tim. Sangat gamblang, betapa pentingnya peran setiap individu dalam tim.
Namun terkadang kompetisi, saingan, saling intrik mengintrik, sengatan-sengatan bermunculan dan berpotensi merusak medan positif yang semestinya terbangun. Pengalaman saya, saat bekerjasama tak sedikit tersengat oleh lingkungan sekitar. Sengatan yang terkadang memancing saya dan membalas berbalik menyengat. Dampaknya terjadilah ajang pertempuran sengatan itu. Emosi. Konflik. Ego terpancing, dan melupakan sifat alamiah kebaikan seperti kisah biksu di atas. Selanjutnya soal sengatan-sengatan menghadapi konflik itu saya berkesimpulan begini.
Sadar Diri
Satu hal yang penting adalah sadar terhadap prinsip alamiah. Kebaikan telah ada dalam setiap pribadi individu. Melihat ke dalam diri, menemukan apa ada yang salah dalam diri kita. Apakah ada hal tidak baik yang telah kita lakukan?
Permasalahan hadir untuk dipecahkan dan dicari solusinya dengan tanpa meninggalkan sifat alamiah kebaikan kita. Bukan untuk dihindari. Kita harus menyadari hal ini. Kala menjumpai masalah dari lingkungan sekitar bak ‘tersengat kalajengking’ yang menyakitkan. Bikin susah, sedih, stress, galau, dan sederet efek negatif lainnya, baik psikis maupun fisik. Sebaiknya jangan cepat berputus asa. Segeralah menyadari dan sadar akan konsep dan prinsip, bahwa permasalahan harus diterobos, bukan dibalas dengan ‘sengatan.’ Sekali lagi diterobos!
Terobos
Saya memaknai bahwa apapun yang kita lakukan, dengan memiliki prinsip kebaikan memiliki kekuatan. Bahwasannya kita berprinsip menolong orang itu adalah baik, maka akan kita lakukan tanpa syarat. Meski dalam proses membantu atau melakukan kebaikan itu, akan menemui kesulitan. Naluri dan alami hal baik akan menemui halangan, itu akan biasa terjadi. Justru hal alamiah kebaikan tadi akan memberi kekuatan untuk menjadi alat penerobos.
Saat kalajengking menyengat sebagai respon atas bantuan kita, adalah hal alamiah dan naluriah yang memang reflek akan dilakukannya. Saat kita menerima respon ‘menyakitkan’ itu, secara alamiah pula kita tetap membantu, sebagai wujud bahwa kita bernaluri dan berprinsip untuk selalu baik. Berkebaikan. Bukan membalas ‘menyengat’ atau menghindarinya. Selanjutnya menerobos ‘sengatan’ atau permasalahan itu menjadi ‘clear’ dan menghasilkan sebuah hal yang baik. Kekuatan dari prinsip alamiah itu akan meredam ‘sengatan-sengatan’ yang mungkin akan menimpa kita.
Mundur Selangkah
Saat ‘sengatan’ itu hadir, jangan terusik. Hati jangan tergerak dan timbul ego yang mempertajam serunya sengatan itu. Mundur selangkah namun tidak menghindar. Mundur selangkah ini adalah aksi untuk kita tetap dalam koridor memahami permasalahan dan mengurainya dengan kacamata lebih jernih. Seyogyanya kebijaksanaan dalam diri kita akan muncul setelahnya. Terbuka kebijakan kita. Memandang dengan jernih dan akhirnya menemukan solusinya.
Akhirnya, seyogyanya kita tidak menghentikan kebaikan, jangan ubah naluri kebaikan alamiah kita sebagai sifat dasar dari asal-Nya, betapa pun pedas dan sakitnya ‘sengatan’ yang menghunjam diri kita itu. Sesakit apapun itu. Bunuh ‘sengatan kalajengking’ itu dan tetap lakukan apa yang semestinya anda lakukan.
Salam di siang hari yang menyengat.
Pesing 13092013
Belum ada tanggapan untuk " Bunuh ‘Kalajengking’ dalam Diri Kita"
Posting Komentar