‘Rupa’ terbentuk dari hati. Apa yang terjadi dan menimpa kita adalah ‘cermin pantul’ dari ‘wajah hati’ kita sendiri.
Pagi ini ketika saya ‘ngantor’ seperti biasanya langsung menuju meja kerja pribadi. Rutinitas awal yang biasa kulakukan. Namun di luar kebiasaan, meja yang kugunakan itu masih dalam kondisi tak bersih.
Debu dan kotoran nampak belum di-lap. Gelas kopi masih nangkring di sudut meja. Kantong plastik bekas makanan pun masih narsis dengan manisnya di sudut yang lain. Kemana Samsul, si officeboy yang biasa melakukan tugas bersih-bersih?
Hal begini tidak sekali dua kali terjadi. Saya sudah berulangkali menasehatinya soal jobdesknya sebagai karyawan di kantor. Namun perubahan tidak terjadi, terjadi pun lambat sekali. Padahal menurut saya itu adalah persoalan kecil. Kesal? Marah?
Awalnya demikian, kesal dan capek menasehatinya. Saya juga tidak dengan niat mencoba untuk menyenangkan atau bersikap baik padanya. Namun lambat laun saya sadari itu tidak benar. Hal yang terjadi di depan saya adalah refleksi dari keterikatan dan ujian bagi saya. Ini berarti saya harus mencari ke dalam untuk mencari tahu keterikatan apa yang menyebabkan saya kesal ataupun marah. “Tidaklah benar kalau saya marah.”
Setiap detik dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu dihadapkan pada masalah. Masalah ringan maupun berat yang sedikit banyak membebani pikiran. Masalah dengan keluarga, diputusin pacar, menganggur ‘jobless,’ menderita penyakit tak berkesudahan, iri dengan kehidupan bahagia tetangga, dimarahi guru, dicaci maki teman, bertengkar, jomblo dan lain sebagainya.
Intinya kita tak pernah dilepaskan dari permasalahan. Dengan kata lain, masalah itu sudah biasa. Namun menjadi tidak biasa, apabila efek dari masalah itu menumbuhkan masalah baru yang tak berkualitas. Tak berefek hal yang positif untuk diri sendiri. Menjalani hidup keseharian dalam rangka untuk meningkatkan diri, alangkah baiknya kita memposisikan sebagai mahluk yang selalu belajar dan belajar. Belajar dari sekitar, dari alam, dan fenomena, dari orang lain, orang tua, anak-anak, maupun siapapun. Kita adalah ‘murid alam semesta.’
Saat diri terusik apa yang dilakukan? Sewot, marah, tersinggung atas nama harga diri? Spontan dan sporadis datanglah keterikatan hati itu. Keterikatan atas nama harga diri, atas nama ‘aku,’ ke’ego’an yang merambat naik memuncak. Atas nama pelecehan, merendahkan, ‘penguasa hitam’ keterikatan dalam diri, hati sendiri.
Ada keterikatan tertentu yang kita tidak ketahui, tidak disadari. Sesuatu yang harus ditemukan dan disingkirkan jauh-jauh. Dilepaskan. Itulah hal yang menyebabkan kita merasa terusik. Pikiranpun jernih saat hati tak tergerak oleh keterikatan itu. ‘Karma’ pikiran yang berpeluang muncul akan terkikis dan tersingkir saat kita menolak dan merubah konsep.
Kita mesti mencari ke dalam ketika terusik. Mencari ke dalam bukan secara membuta, karena ‘mencari ke dalam’ bukanlah sebuah keahlian. Sikap orang lain kepada kita adalah refleksi dari hati yang berketerikatan dan ujian bagi kita sendiri. Ungkapan ‘rupa terbentuk dari hati’ kiranya tepat. Apa yang terjadi dan menimpa kita adalah cerminan, ‘pantulan’ dari ‘wajah hati’ kita sendiri. Hanya dengan hati tetap tak tergerak oleh keterikatan, maka kita bisa lulus ujian dari setiap masalah.
*Salam Sederhana dari Asal
Fiksi Keren Koe Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk " ‘Mencari ke Dalam’ Setiap Problema, Emangnya Ada Apa?"
Posting Komentar