***
kawan, sejenak tinggalkan tempurung yang mengurung tahunan nafasmu
lalu terbanglah ke awan yang terentang diantara garis cakrawala
dan temui, terkadang dewi hujan meratap dalam buih busa mendung hitam
dan adakalanya terik surya tersenyum menyapa bersama sang badai taufan
lihatlah bumi berpayung indah saat kita pandang dari serambi bulan sabit
elok parasnya terpancar dalam malam segelap apapun adanya
terhampar di hijau nafas dunia dan birunya laut samudera
tiada cela, sejujur kedalaman nurani yang menyalakan dian pencerah gulita
atau suatu saat, luangkan waktu menghirup kehidupan dari bening jendela nurani
dan tataplah sosok semesta yang telanjang terurai dalam hukum-hukum kekal
pada unsur-unsur pembangun koloni-koloni kesejatian yang tak terusakkan
lalu dihembuskan noktah-noktah kebaikan yang mengeja gelap dalam kesempurnaan
takdir menyusunnya dalam bait-bait langit
mengemas pengaturan atas baik dan buruk dengan begitu sempurna
hiruplah dia
resapi segala cahayanya
sumber kesejatian
kebaikan
kesabaran
dan biarkan keheningan menemukan jati diri asli kita
dari dzat Maha Sempurna yang pernah ter-kecap dalam nafas surga kala pertama
***
Jakarta - 14 Februari 2015
@rahabganendra
Belum ada tanggapan untuk " Serambi Bulan Sabit"
Posting Komentar