Di sebuah perkebunan sayuran di lereng Cemara Sewu, Gunung Lawu, hiduplah kelompok sayuran. Ada kubis, brokoli, wortel dan sawi. Lingkungan pegunungan yang sejuk dengan hangatnya matahari sepanjang hari membuat sayuran itu tumbuh dengan segar dan subur. Pemandangan menghijau nan indah oleh hamparan sayuran itu.
Sebuah keluarga sayuran Sawi, nampak turut berbahagia tumbuh diantara kerumunan keluarga sayuran lainnya. Sebut saja Pakwi (Papa Sawi), Makwi (Mama Sawi) dan Mimi (Anak Sawi) nampak bercengkerama bersama Paman Baskara, sang matahari.
“Senang yaa, disini udaranya sejuk, badan segar terus, daun-daunku pun indah menghijau,” kata Makwi, si Mama Sawi sambil menggoyang-goyangkan daun-daunnya yang berembun.
“Betul Ma, daun yang segar membuat petani senang merawat kita sehari-hari,” sahut sang Pakwi, si Papa Sawi.
“Kita harus berterima kasih juga kepada Paman Baskara, yang memberi hangat sinarnya bagi kesegaran daun-daun dan tunas kita ya Pa,” sahut Makwi lagi.
Memang Paman Baskara selalu disiplin muncul tiap pagi di balik bukit dan rerimbunan pohon cemara di kaki Gunung Lawu itu. Tak pernah telat dan mengeluh membagikan sinarnya bagi tumbuhan untuk berfotosintesis. Tanpa minta imbalan maupun bayaran. Para makhluk pun hormat padanya.
“Saya juga senang, bisa bermanfaat untuk segala makhluk penghuni bumi, termasuk kalian para sahabatku,” kata Paman Baskara berwibawa.
Tiba-tiba mereka tersadar, si Mimi, Sawi kecil terdiam dari tadi. Ia nampak bersedih. Tak ada ekspresi kegembiraan di raut wajahnya. Orangtuanya merasa heran, tak biasanya Mimi murung. Biasanya pagi-pagi saat Paman Baskara menyembul di balik bukit, Mimi paling ceria menyambut dan menyapa pamannya itu. Pagi ini lain.
“Ada apa Nak, kamu terlihat murung?” tanya Makwi.
“Huhuuu Saya sedih Ma, saya kesepian,” jawab Mimi sembari terisak akan menangis.
“Kesepian? Khan ada Mama, Papa dan Paman Baskara tiap hari menemanimu,” jawab Mamanya lembut.
“Iyaa, tapi Mimi pengen punya sahabat bermain, seperti sayuran lainnya itu Maa,” jawab Mimi dengan tangis yang mulai kencang.
“Ooo, begitu. Baiklah Nak, berdoa saja yaa, agar nanti ada sahabat yang bisa bermain denganmu,” kata Mamanya bijak.
Tak lama berselang lewatlah segerombolan semut. Mereka berbaris rapi, rukun dan tegap seperti tentara. Prok… prok… prok… langkah kakinya berderap-derap. Satu… dua… satu… dua!! Ternyata mereka sedang berburu makanan di tanah sekitar keluarga Sawi berada. Mereka makan apa saja yang bisa ditemui. Mulai dari butiran nasi, serpihan roti hingga bangkai serangga mati. Jika salah satu menemukan makanan mereka akan bergotong royong, mengangkat makanan itu beramai-ramai ke markas rumah Semutnya. Kompak sekali.
“Wah kebetulan Nak Semut lewat, apakah saya bisa minta bantu?” sapa Pakwi.
“Yaa Paman Sawi, boleh saja, apa yang bisa kami bantu,” jawab Semut muda yang berbaris di bagian depan itu.
“Begini, si Mimi butuh teman bermain, nampaknya dia bosan main sama orangtuanya, apakah nak semut mau bermain dan jadi sahabat Mimi?” Tanya Pakwi lagi.
“Tentu saja mau Paman, dengan senang hati,” jawab Semut muda itu lagi.
“Aaahh ga mau nggaak mau, wajah paman semut menakutkan, kayak Alien” kata Mimi tiba-tiba. Wah tau juga si Mimi soal alien, manusia luar angkasa itu lhooo.
“Menakutkan gimana Nak?” tanya Pakwi bingung.
“Wajah Paman Semut kayak monster,” kata Mimi sambil melengos.
“Mimi jangan begitu Nak, Paman Semut khan baik, kita harus menghargai makhluk lain,” kata Pakwi lirih.
“Mohon dimaafin kata-kata Mimi, Nak Semut,” kata Pakwi pada Semut muda itu.
Begitulah, Mimi menolak bersahabat dengan Semut, karena penampilan dan wajah semut yang kurang menarik. Orangtuanya hanya bisa bersabar meski tak enak hati dengan Semut muda itu. Tak lama berselang melintas seekor Laba-laba kebun. Laba-laba muda yang nampaknya sedang mencari tempat untuk bersarang. Pakwi pun menyapanya dan mengutarakan hal yang sama seperti yang ditanyakan kepada Semut muda sebelumnya, bahwa Mimi ingin dicarikan sahabat untuk bermain.
“Wah saya senang sekali paman, kalau Mimi mau jadi sahabat saya. Saya bisa membuat sarang di sekitar sini,” kata si Laba-laba semangat.
Namun seperti sebelumnya, Mimi menolak dengan alasan yang sama. Laba-laba penampilannya terlalu menakutkan katanya.
“Papa saya ga mau punya sahabat yang wajahnya jelek dan menakut … ,” sahut Mimi.
“Sssssstttt jangan bilang begitu Nak, ga sopan,” buru-buru Pakwi memotong perkataan anaknya itu.
Dengan malu Pakwi minta maaf kepada Laba-laba muda itu atas ucapan anaknya. Dia tak habis pikir Mimi memilih-milih soal berteman, padahal dirinya tak pernah mengajarkan hal demikian.
Saat mereka terdiam, lewatlah seekor kupu-kupu nan cantik. Sayapnya indah berwarna warni, nampak anggun bagai warna pelangi. Tubuhnya ramping mempesona. Perlahan-lahan terbang dan meliuk-liuk seakan memamerkan keindahan yang dia punya kepada alam sekitarnya.
“Wah cantik sekali kupu-kupu itu, saya mau berteman dengan dia Papa,” kata Mimi bersemangat. Dia terpesona akan kecantikan kupu-kupu itu. Mimi menyapanya.
“Hai kupu-kupu, maukah kamu bersahabat denganku, saya butuh teman,” kata Mimi.
Kupu-kupu itu lalu hinggap di daun sawi yang lebar itu. Dia memperhatikan sekelilingnya. Daun-daun sawi yang segar, sehat dan melimpah ruah. Dia diam sejenak seperti berpikir sesuatu. Sambil tersenyum penuh arti dia menyanggupi permintaan Mimi.
“Wah kebetulan, saya juga butuh teman, tentu saya mau bersahabat denganmu, Sawi kecil,” jawab kupu-kupu senang penuh arti.
Akhirnya bersahabatlah Mimi dengan kupu-kupu itu. Hari-hari selanjutnya Mimi selalu ceria, bermain dan bercanda dengan sahabat barunya itu. Tak pernah bosan Mimi memandangi sahabat cantiknya itu. Pakwi dan Makwi pun bahagia melihatnya.
“Tra la la, tri li li, sunguh senangnya hatiku, punya sahabat baru, cantik dan anggun… Tra la la, tri li li … ,“ begitulah nyanyian Mimi setiap hari.
Hingga suatu hari kegembiraan itu lenyap. Kupu-kupu itu pergi tanpa pamit. Dia meninggalkan telur-telurnya di daun si Mimi tanpa diketahuinya. Saat telur-telur itu menetas, Mimi merasakan badannya gatal, di sekujur daunnya nampak ulat-ulat kecil, banyak sekali! Mereka makan daun-daun di tubuhnya!
“Tolong, toloooonggg !!!” jerit Mimi sambil menangis dan berteriak minta tolong.
Orangtuanya tak sanggup menolong. Paman Baskara berusaha menolong dengan meningkatkan pancaran panasnya, bermaksud mengusir ulat-ulat kecil itu. Namun bukannya berhasil, malahan Mimi dan sayuran di sekelilingnya kepanasan.
“Wah gawat, bisa-bisa mereka terbakar oleh panasku,” gumam Paman Baskara. Ia lalu menurunkan daya pancar panasnya kembali normal. Dia kebingungan bagaimana cara menolong si Mimi.
Tak disangka, muncul si Laba-laba yang ternyata bersarang tak jauh dari situ. Ia mendengar teriakan minta pertolongan Mimi. Bergegas Laba-laba itu menjerat satu persatu ulat-ulat kecil itu. Digulung dengan jaringnya yang kuat. Bersamaan dengan itu Semut muda dan gerombolannya mendatangi tempat itu juga. Jumlahnya banyak. Mereka beramai-ramai mengeroyok ulat-ulat kecil yang kalah jumlah itu. Beberapa ulat itu lari tunggang langgang. Beberapa yang lain menjadi makanan para Semut! Wah kasian juga ulat-ulat itu yaaa. Tapi itulah siklus rantai makanan alamiah dalam menjaga keseimbangan alam. Setiap makhluk menjadi pemangsa makhluk lainnya. Hukum alam sedang berlangsung.
Tak butuh waktu lama untuk mengusir ulat-ulat pengganggu itu. Mimi selamat sebelum daun-daun di tubuhnya habis dimangsa ulat-ulat kecil itu. Semut dan Laba-laba berhasil menolongnya. Mimi menjadi teramat malu pada keduanya. Ternyata meski telah dia hina, mereka malah menjadi Dewa Penolongnya.
Peristiwa itu menyadarkannya bahwa sahabat sejati bukan dinilai dari penampilan fisik serta ‘rupa’ wajahnya, namun dari ketulusan dan ‘rupa’ hatinya. Mimi menyesal. Dia berniat meminta maaf serta akan memperbaiki sikap dirinya untuk selalu sopan dan santun kepada setiap makhluk, mulai detik itu juga. Ooh indahnya persahabatan dengan semua makhluk.
Salam dari negeri Dongeng.
Belum ada tanggapan untuk "Penyesalan Mimi Sawi"
Posting Komentar