Bagi saya, menjadi pendonor darah adalah sebuah tindakan mulia. Mulia jika dilakukan dengan maksud yang baik, atas nama kemanusiaan atau ingin membantu orang lain. Bukan hal sepele, kesadaran memberikan darah secara sukarela adalah tindakan luar biasa. Mengingat sebagian orang bahkan tidak terlintas di benak mereka alias tak pernah berpikir untuk melakukannya, ‘never thought about it.’
Maka saya bilang, mereka yang masih peduli menyumbangkan darah adalah hebat. Hatinya sangat mulia. Namun sebaliknya, sangatlah jahat bagi orang yang menggunakan kesempatan orang yang ‘lagi butuh’ darah lalu menjualnya. Mendonorkan darahnya demi ratusan ribu uang. Sungguh memalukan.
Praktik-praktik jual darah, atau disebut calo darah pernah saya temui dahulu di kota kelahiran saya, wilayah karesidenan Solo, Jawa tengah. Meski kejadian sudah sangat lama, namun sepertinya praktik seperti itu masih banyak terjadi di daerah-daerah maupun di kota-kota besar. Semoga saja sudah tidak ada.
Saat itu suatu malam, saya ditelpon teman saya itu. Bernada suara buru-buru, panik dan terbata-bata, dia menanyakan jenis golongan darah saya. Sesaat nampak dia senang, ketika kujawab golongan darahku A.
“Adikku kecelakaan, butuh darah ‘A’ Mas, stok di PMI (Palang Merah Indonesia) habis, di rumah sakit tak tersedia bank darah,” ujar temanku di seberang telpon waktu itu. Tak berpikir panjang saya mengiyakan, berniat membantu menyumbangkan darah. Di benak saya terbayang raut kecemasan teman saya itu.
Sekilas terpikir di benak saya, semestinya ketersediaan darah di PMI adalah mutlak. Namun entah minimnya kesadaran dan kepedulian orang-orang untuk menyumbangkan darahnya ataukah pihak PMI dan kelompok semacamnya yang kurang aktif untuk menggelar aksi donor darah. Terlihat masih jarang orang yang secara sukarela meluangkan waktu untuk mendonorkan darahnya di PMI / Unit Transfusi Darah setiap 3 bulan sekali. Menjadi rasional jika dampaknya stok darah minim, bahkan kosong jika kebutuhan lagi banyak-banyaknya. Kondisi ini mungkin menjadi salah satu pemicu bermunculannya oknum-oknum yang tega memperjualbelikan darah alias calo darah. Orang sudah susah, terdesak keadaan, tapi masih saja celah dimanfaatkan untuk mendapatkan uang.
Kembali ke cerita. Saat saya menunggu tes darah sebelum donor di PMI yang bersebelahan dengan rumah sakit, saya menyaksikan beberapa orang menawarkan jasa untuk mencarikan pendonor sesuai jenis golongan darah yang dibutuhkan. Tentunya dengan harga tertentu. Biasanya mereka dari kalangan masyarakat bawah. Di satu sisi mereka dibutuhkan saat ada kejadian pasien yang membutuhkan darah secepatnya. Misalnya korban kecelakaan, yang biasanya banyak terjadi di malam hari. Biasanya para calo itu sudah memiliki daftar beberapa orang lengkap dengan jenis golongan darahnya. Simbol mutualisme?
Mungkin bisa juga disebut demikian. Saling menguntungkan. Pihak dari pasien memperoleh stok darah untuk kebutuhan mendesak pasiennya. Sebaliknya bagi calo darah memperoleh imbalan beberapa lembar untuk ‘penghasilannya’. Nampaknya kedua belah pihak juga sama-sama merasa tidak rugi. Efeknya adalah praktik semacam itu menjadi ‘langgeng’ terpelihara.
Mungkin sah-sah saja. Namun hati saya terusik kala melihat praktik itu. Perasaan sangat tidak etis memperjualbelikan sekantong darah. Bukan nampak sebagai ‘ucapan terima kasih,’ namun sudah dikomersilkan. Soalnya sudah melibatkan beberapa orang dengan bertujuan mendapatkan imbalan. Tindakan yang mestinya mulia karena membantu menyelamatkan nyawa orang lain, dikotori oleh niat hati yang melenceng menjadi ajang mencari uang. Tentu saja praktik terjadi karena beragam aspeknya. Seandainya praktik calo darah itu masih ada, seyogyanya patut menjadi renungan dan disikapi oleh pihak-pihak yang berkompeten terkait pengadaan stok darah itu. Mungkin dengan kampanye kesadaran masyarakat akan kepedulian membantu sesama, atas dasar kemanusiaan.
Patut ditekankan bahwa melakukan donor darah dengan tertib dan rutin sangatlah bermanfaat baik bagi pendonor maupun pihak yang disumbang darah kita. Selain merupakan amal yang murah, berpahala menolong orang lain juga meningkatkan kesehatannya kita sendiri. Secara medis darah dalam tubuh kita dapat beregenerasi secara sehat. Selain itu kita bisa mengetahui sewaktu-waktu atau berkala, apakah darah kita mengandung penyakit berbahaya atau tidak.
Fungsi kontrol kesehatan kita terhadap penyakit seperti penyakit menular yang melalui darah, misalnya HIV/AIDS, Hepatitis B/C, sifilis, malaria serta penyakit gangguan darah, jantung, ginjal, kencing manis dan lain-lain, dapat dipantau rutin. Mengetahui sejak dini penyakit akan membantu kita untuk segera mengatasinya. Jika demikian, bukankah donor darah itu bermanfaat untuk kita sendiri? Jadi tunggu apalagi, lawan jarum suntik dengan nyali anda, sumbangkan darah sehat anda.
Kita punya hati, mari beramal dan berbuat baik dengan menumbuhkan rasa kemanusiaan melalui aksi donor darah, bukan menjualnya!
Salam kemanusiaan.
Sumber foto: http://m7.flexmedia.co.id/wp-content/uploads/2013/02/donor-darah.jpg
Belum ada tanggapan untuk "Anda Punya Hati? Yukk Berdonor Darah!"
Posting Komentar