Keluarga Pak Sukilo Budi Yanto (Sby) malam itu sedang berkumpul di ruang tengah bagian rumah mungil di salah satu sudut pinggiran Ibukota.
Pak Sby sedang menikmati pijatan istrinya Bu Ami, maklum dia letih seharian bekerja sebagai Pegawai rendahan sebuah kantor penyuplai kantong plastik. Tak jauh di sebelahnya duduk kedua jagoannya Agus dan Ebas, yang asyiik nonton TV tabung 14 inci. Sebuah keluarga ideal dengan dua anak cukup persis slogan Keluarga Berencana waktu jaman 32 tahun rejim Eyang Soeharto.
Ibu Ami : “Pak, cari tambahan dong, sembako pada naik neeh“ (sambil memijat betis suaminya)
Pak Sby : “Tambahan gimana Bu, jaman sekarang khan cari kerjaa susaah. Udah mending aku kerja dapat gaji bulanan.”
Ibu Ami: “Itu mah kecil Paaak, ga cukup buat makan, belum lagi kebutuhan sekolah si otong-otong itu (maksudnya kedua anaknya Agus dan Ebas). Beras naik, telur naik, daging naik, apa apa naik, cuman gaji Bapak doang yang adem ayem, gak naik-naik.” (dengan nada ketus)
Pak Sby : “Disyukuri aja Buuu…” (berusaha bijak, meski setuju dengan pendapat istrinya)
Ibu Ami : “Disyukuriiiinnnnnn kaleeee…!!” (nyolot)
Pak Sby hanya bisa mendesah. Sejak tahu dari pemberitaan TV, BBM resmi diputuskan akan naik, keluarganya langsung goncang bak rumah reyot tergulung twister. Menunggu detik-detik pengumuman dimulainya harga BBM baru, istrinya punya hobi baru juga, marah-marah. Cepat naik darah. Iming-iming Pemerintah SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dengan pemberian “BALSEM’ (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) yang mulai digelontorkan sehari setelah harga BBM yang baru resmi diberlakukan, tak mampu menghibur hatinya yang terlanjur panas. Lebih panas dari Balsem GeliGaX yang paling super panas sekalipun. Maklum dia adalah ‘Menteri Keuangan’ di keluarganya. Mengelola keuangan yang ‘cumpen’ alias mepet cenderung mustahil, membuat pikirannya sering kalut. Jangankan Bu Ami, Sri Mulyani, mantan Menteri Keuangan itu pun mungkin akan pusing tujuh keliling.
Tak heran keluhan soal naiknya harga kebutuhan sehari-hari, tiap hari terdengar tanpa henti dari mulutnya. Pak Sby tahu betul sifat istri yang dicintai dan dinikahinya lebih dari 15 tahun itu. Dia juga tak habis pikir kenapa harga BBM naik. Apalagi harga dinaikkan di saat Bulan Suci Ramadhan dan Lebaran di depan mata, dimana segala kebutuhan akan meningkat.
Dia yakin pejabat pemerintahan dan para wakil rakyat di gedung megah Senayan paham dampaknya. Setahunya para wakil rakyat itu mestinya berpihak pada kepentingan rakyat seperti yang sering didengarnya saat kampanye dulu. Memperjuangkan nasib rakyat lola lapa (susah). Tapi kalau tidak? Jika mereka berjuang memperkaya pribadi dan partainya gimana? Mau apa Wong Cilik seperti dirinya ini. Bisa apa dia? Menggugat? Ikutan demo bakar-bakar?
Bu Ami : “Paaak, kok malah bengong siih!!” (sambil masih mijat punggung suaminya)
Pak Sby : “Eeh iyaa…. abis pijatan Ibu enak seehh. Terusin Buuuk.”
Bu Ami : “Pak kenapa yaa pemerintah tega naikkin harga BBM? Khan kita punya wakil rakyat tuh, kenapa ga belain kita ya Pak?”
Pak Sby : “Halaaah Buuuu buu, biasa yang punya kekuasaan yang ngatur. Kalo wakil rakyat itu ditawarin duit Rp. 5 triliun buat ngegolin RAPBN-P, siapa yang ndak mau thoo Buuuu buu, khan itung-itung buat ganti biaya nyaleg.”
Bu Ami : “Wah pengkhianat dong Pak?”
Pak Sby : “Ndak juga, khan emang karakter, Dewan Pengutil Rakyat yaaa begitu Buuu… “ (nada Pak Sby makin apatis, pesimis cenderung miris)
Bu Ami : “Tapi khan sering kejadian Pak, kalau harga BBM naik, lalu pada demo, ribut-ribut… bisa kaoss Paak.”
Ebas dan Agus : Chaos Buuuuuu… !! (sahut anaknya serempak meralat sambil cengar cengir liat ibunya yang sok intelek)
Pak Sby : “Dan sering kejadian juga khan Buuu, ribut-ributnya hanya sebentar… diBALSEM empat bulan juga sudah anyees lagi… hehehee (sambil terkekeh) Terus yang susah khan bukan mereka, mereka ga ngrasain Buuuu, masa bodohlaah.”
Bu Ami : “Tapi Pak….”
Pak Sby : “Sudahlah Buuu, kita wong cilik, syukuri apa yang ada, yang penting kita bekerja halal, makan dari hasil keringat halal, berperilaku jujur meski dalam kekurangan pasti ada berkahnya. Rejeki takkan kemana, jika kita mau berusaha. Mereka yang tak takut dosa, karma, yaaaa biar ditanggung sendiri. Tuhan Maha Adil, Tuhan Maha Tahu, Tuhan tak pernah tidur Buuuuu.” (bernada menghibur istri dan dirinya sendiri)
Pak Sby berusaha tetap bijak meski dalam pressure kondisi rumah tangganya. Kepalanya pusing sebagai kepala rumah tangga, memikirkan cara mencukupi kebutuhan rumah tangganya tiap hari. Terbayang jelas bulan Ramadhan dan Lebaran yang akan segera tiba. Rumus yang berlaku adalah harga kebutuhan barang naik drastis.
Agus dan Ebas sebentar lagi akan minta baju baru, celana baru, buku baru, tas baru, sarung baru dan peci baru. Belum lagi cicilan motor belum lunas. Angsuran rumahnya pun baru separo jalan dari 15 tahun kreditan. Belum biaya mudik ke rumah orangtuanya di kampung. Ingat itu semua, kepalanya mulai pening, jidatnya mulai panas, matanya berkunang-kunang, sekujur tubuhnya terasa bergetar.
“Buu kasih Balsemnya, dadaku sesak,” ujar Pak Sby sambil mendekap dadanya.
Secepat kilat, Bu Ami pun bersegera memungut Balsem GeliGaX di meja. Sejurus kemudian dia mengoleskan Balsem itu ke tubuh suaminya. Jemarinya merasakan tubuh itu tak hangat lagi. Tubuh itu mulai melemah, melemas dan dingin.
“Paaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkk !!!”
Salam sederhana dari Asal
*Lamunan potret pilu warga ‘kasta miskin’ yang ‘teraniaya’ oleh ketidakadilan kebijakan para Pemimpin dan ‘hulubalangnya’ mengarungi kerasnya kehidupan belantara Ibukota Negeri. Jika ada nama atau kemiripan kisah, itu bukan kebetulan, tapi karena faktor sengaja atau tidak sengaja.
Belum ada tanggapan untuk "Potret Pilu Warga Kasta Balsem"
Posting Komentar