Kulihat kalender di meja kerja… hmmm hampir dua bulan berlalu, sambil jari-jariku menghitung-hitung hari.
Tepatnya 13 April 2013 lalu, mobil kreditanku raib ‘dipinjam tanpa ijin dan tak dibalikin’ entah oleh siapa. Mobil yang biasa aku pakai kemana-mana selama setahun lebih. Mungkin lagi apes seperti banyak teman-teman bilang.
“Untung ada asuransinya,” hanya itu komentar menghibur mereka.
Ngurus asuransinyapun juga tidak gratis. Belum wira-wiri ke polisi urusan dokumen penyidikan, blokir STNK dan tetek bengek lainnya. Waktu terbuang. Kerjaan terganggu.
Nasib, nasib. Sial benerlah, itu yang terlintas. Hati sedih, galau, jadi satu. Seumur-umur baru merasakan kehilangan bernilai besar, untuk ukuranku. Tak berharap banyak untuk kembali, meski telah disidik polisi. Tak berharap banyak untuk diganti meski sudah dilaporkan asuransi yang belum ada kabar prosesnya.
Dipikir-pikir lebih jauh, siapa sih yang tidak pernah kehilangan barang? Materi? Siapa sih yang tidak pernah mengalami kesedihan? Menderita? Galau? Selama masih manusia yang hidup di tengah masyarakat pasti mengalami hal-hal dan kejadian tidak mengenakkan dalam hati. Menyakitkan hati. Kehilangan barang yang disukai, kehilangan pacar yang dikasihi. Kehilangan orangtua yang dihormati, dan kehilangan fisik serta mental psikis lainnya. Banyak sekali.
Kehilangan muncul dari perasaan. Timbul dari hati yang terikat akan sesuatu. Sesuatu yang dibutuhkan, disayang, dicintai, dimiliki. Tanpa sadar sesuatu itu telah membelenggu hatiku. Mengekang. Membatasi kebebasan. Memangkas lompatan langkahku. Mengikat erat-erat hati, mempermainkan emosi. Mengaduk-aduk hati dan perasaanku sebagai manusia. Inilah yang kukenal sebagai keterikatan hati manusia biasa. Keterikatan yang membuatku akan selalu menderita, apabila tak kulepaskan.
Kusadari sebagai makhluk ciptaan Tuhan Sang Penguasa. Setiap kejadian adalah Sang Penguasa yang menyutradarainya. Tuhan sebagai sumber sifat-sifat kebaikan maha tinggi. Ini tak bisa kusangkal. Semua yang terjadi pada makhluknya di dunia ini adalah dibawah pengaturanNya, Sang Penguasa alam semesta. Penguasa hati manusia, para pemainnya. Pengaturan Sang Sutradara adalah demi kebaikan para pemainnya. Ini adalah dalil pasti. Apapun caranya, apapun metodenya, pengaturan itu adalah untuk menggembleng hati ‘pemainnya.’ Manusia itu sendiri. Hati yang dibentuk seperti karakter sifat-sifatNya.
Terkadang caraNya melalui hal yang kusukai. Peristiwa manis dan membahagiakan. Dapat hadiah, terima pujian dari atasan, dapat kekasih baru, tubuh selalu sehat, maupun hal-hal kecil ditraktir teman. Cara dan metode melalui kejadian yang melegakan dan memanjakan. Sangat menyenangkan hati.
Namun terkadang aku disuguhi cara dan metode yang menyakitkan hati. Hati menderita, disayat, dan diiris-iris, luar biasa perih. Dicaci maki orang, dimusuhi, dimarahi atasan, konflik dengan rekan kerja, intrik mengintrik maupun kehilangan materi seperti kasus mobil yang raib tadi. Apes dan sial. Aku sadar akan prinsip-prinsipnya, maka segala hal menderita dan susah yang terjadi, tidak kuratapi. Tidak akan bikin aku bunuh diri. Pun sebaliknya. Hal manis dan menyenangkan tidak akan bikin aku sombong dan tinggi hati. Karena prinsipnya adalah sama, untuk ‘menggembleng’ hati. Orang bijak bilang ‘pujian adalah ujian.’ Tepat sekali.
Jika kusadari sesungguhnya ‘sebab akibat’ dari setiap kejadian adalah ujian dariNya, pengaturanNya, bukankah berarti baik ataupun buruk kejadian yang menimpaku adalah bermakna baik? Bukankah apes dan sial bertujuan baik buat diriku? Prinsip ini kusadari dan pahami, untuk menjadi ‘kacamata’ yang jitu saat ‘hujan badai masalah’ maupun ‘hujan badai durian’ datang menguji hati.
Jadi apes karena mobil yang hilang, sial karena mengalami keresahan, kesusahan hati setelah kehilangan, buatku bukanlah hal buruk. Bukanlah nasib buruk. Sial dan apes tidak akan membuatku nelongso, marah-marah, bersedih berkepanjangan, galau, stress dan perilaku konyol lainnya.
Apes dan sial hanya ‘kata tak sedap di dunia manusia.’ Ke-apes-an, ke-sial-an sejatinya adalah sarana pembimbing, pembentuk, pengasah hati. Semestinya disikapi dengan sadar jernih. Bukankah dengan demikian hati ini bisa menjadi bersih murni seperti karakter asal?
Salam sederhana dari asal
Belum ada tanggapan untuk " Apes dan Sial Bukanlah Nasib Buruk"
Posting Komentar