***
dia menangis
meringkuk dalam sarang-sarang basah
bukan sedih karena kemarahan dewa hujan yang berkunjung membabi buta
atau buah kerinduan dewi air yang menyambangi rumah tanpa hentinya
namun adalah tanya, “mengapa tangan kasih menjadi hampa?”
berganti dengan rajam kata tuduh dan cela
pernah kita dengar
senandung welas asih dalam torehan legenda lama
pada lagu-lagu bandang yang menghanyutkan suka tawa
dan nada-nada hujan yang meluruhkan harapan sirna
dan itu tak berarti apa-apa
kita tetap bersuka sejak fajar larut di senjakala hingga malam tiba
dan sekarang kita dengar
lagu-lagu sarkastis menusuk genderang telinga
nada cibiran menghunjam atas negeri tempat bernaung suka dera
menelan legenda luhur yang pernah tercipta
lalu terbahak tertawa atas derita saudara
yang mengais keping harapan di tengah bencana
bukankah kita sering memuji bintang
tempat cahaya yang mengisi dongeng indah di segala waktu
dan bukankah langit menitipkan berkah dalam tiap tetes dan terik dengan segala cara
lalu hantarkan impian yang tergantung di lentik bulan sabitnya
yang membuat kita merasakan aroma mimpi sejak belia menjadi nyata
dan sekarang
patutlah kita menangisi legenda lama yang tlah karam dan terlupa
***
Jakarta - 10 Februari 2015
@rahabganendra
Gambar Ilustrasi Dokumen Pribadi. “Banjir melanda kawasan Kedoya Jakarta Barat, Selasa 10 Februari 2015.”
Belum ada tanggapan untuk "Bandang"
Posting Komentar